Searching...

Popular Posts

Thursday, July 12, 2012

KORUPSI, KOLUSI dan NEPOTISME

1:00:00 AM
Pengertian Korupsi, Kolusi dan Nepotisme

Tidak ada definisi korupsi yang baku, hal ini disebabkan oleh sifat korupsi yang menyusup masuk dalam sebuah sistem, faktor-faktor korupsi dan motif korupsi berhubungan dengan banyak bidang. Secara politik motif orang melakukan korupsi yaitu untuk mendapatkan kekuasaan dan secara ekonomi untuk mendapatkan akses lebih ke sumber-sumber ekonomi dengan tujuan akhir untuk mendapatkan pendapatan lebih. Korupsi tidak hanya melibatkan birokrat tetapi juga para agen ekonomi yang lain. Misalnya suap yang terjadi pada perpajakan, permintaan akan korupsi biasanya berawal dari para pengusaha untuk mendapatkan pengurangan pembayaran pajak-nya, sedangkan petugas pemungut pajak menawarkan pemotongan dan kemudahan pembayaran pajak dengan kompensasi tertentu. Tidak menutup kemungkinan bahwa yang memulai penyuapan adalah petugas pemungut pajak yang merasa pendapatannya kurang. Fakta ini menunjukkan bahwa korupsi terletak diperbatasan antara sektor swasta dan publik.

Menurut Worldbank, korupsi didefinisikan " the abuse of public power for private benefit", penyalahgunaan kekuatan publik untuk kepentingan pribadi (Tanzi, 1998, USAID, 1999). Keuntungan pribadi diartikan bukan hanya kepada seseorang, tetapi juga kepada suatu partai politik, suatu kelompok tertentu dalam masyarakat, suku, teman atau keluarga. Berdasarkan definisi di atas korupsi hanya terjadi pada tingkat birokrasi, dan tidak terjadi pada sektor swasta ( private). Secara khusus, pada perusahaan yang besar korupsi tidak akan nampak, apabila korupsi eksis maka pemerintah harus mengeluarkan regulasi. Definisi dari bank dunia ini banyak digunakan oleh lembaga-lembaga donor internasional misalnya USAID, AUSAID, NORAD, IMF, dan lain-lain.

Korupsi dapat menyangkut penyalahgunaan instrumen-instrumen kebijakan, tarif dan kredit, sistem irigasi dan kebijakan perumahan, penegakan hukum dan peraturan menyangkut keamanan umum, pelaksanaan kontrak, dan pengembalian pinjaman. Korupsi dapat terjadi di sektor swasta maupun di sektor pemerintah, bahkan di kedua-keduanya (korupsi jenis ini yang sering terjadi). Korupsi bisa meluas atau menyempit, di sejumlah negara-negara sedang berkembang korupsi telah "meresap" dalam sistem perekonomian.

Menurut Shleifer dan Vishny (1993), korupsi didefinisikan"Government corruption as the Sale by Government officials of government property for personal gain". Contohnya: birokrat sering memungut suap dari pembuatan ijin dan pemberian lisensi, definisi di atas termasuk juga pembelian barang-barang kebutuhan pemerintah dari pihak swasta. Bardhan (1997) mendefinisikan korupsi "The use of public office for private gain". Permasalahannya bagaimana membedakan korupsi yang berasal dari koalisi politik dan yang berasal dari konsekuensi pemilihan umum. Birokrat tidak menggunakan wewenang dan tanggung jawabnya untuk memaksimalkan kesejahteraan sosial, tetapi digunakan untuk melayani kepentingan politik individu dan kelompok.

Dari definisi yang telah diberikan di atas korupsi menyangkut hubungan antara birokrat – agen ekonomi, birokrat – birokrat, agen ekonomi - agen ekonomi, birokrat termasuk juga elite politik. Hubungan yang terjadi adalah symbiosis mutualisme di mana birokrat menyalahgunakan wewenang-nya untuk melancarkan "urusan" agen ekonomi dan agen ekonomi membayar untuk mendapatkanprivilege khusus agar urusannya menjadi lebih lancar. Secara umum hubungan yang terjadi melibatkan rumah tangga konsumen, rumah tangga produsen dan rumah tangga pemerintah. Korupsi dapat dinotasikan secara sederhana C = M + D – A, di mana C: Corruption, M: Monopoli, D: Discretion, A: Accountability (Klitgaard, 1988, 99 dan 2000, 29). Berdasarkan model yang disusun oleh Klitgaard di atas menunjukkan bahwa korupsi akan menampakkan dirinya jika terjadi monopoli terhadap sumber-sumber ekonomi, terjadinya penyimpangan kebijakan publik, dan tidak adanya pertanggungjawaban terhadap publik setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Sehingga untuk melakukan kontrol terhadap korupsi harus mampu mengurangi derajat monopoli, dan mengurangi penyimpangan kebijakan publik, serta harus mampu meningkatkan akuntabilitas publik terhadap semua kebijakan pemerintah.

Apabila korupsi kita pandang sebagai eksternalitas, maka pendekatan benefit dan cost analysis dapat membantu untuk menyelesaikan permasalahan korupsi. Tidak mudah untuk mengukurbenefit dan cost dari korupsi. Perbandingan antara benefit dan cost(B-C ratio) akan digunakan untuk mengontrol tingkat korupsi yang optimal (Klitgaard, 1988). Perilaku agen dalam melakukan korupsi sangat dipengaruhi oleh probabilitas tertangkap, hukuman yang didapat, dan hasil dari korupsi, dibandingkan dengan gaji dan insentif yang diperoleh (Klitgaard, 2000)

Studi tentang korupsi dihadapkan kepada teori korupsi yang ambivalen serta determinan korupsi yang sangat complicated(Kuncoro, 2002, 80). Dalam suatu studi empiris peneliti biasanya dihadapkan kepada permasalahan data yang tidak lengkap atau bahkan tak ada. Akses ke sumber-sumber data biasanya juga tidak mudah dilakukan, sehingga penelitian tentang korupsi biasanya bersifat investigatif research. Metode wawancara langsung juga tidak menjamin data yang akurat, karena jarang sekali orang bersedia mengungkapkan preferensi utiliti-nyaKorupsi adalah persoalan klasik yang telah lama ada. Sejarahwan Onghokham meyebutkan bahwa korupsi ada ketika orang mulai melakukan pemisahan antara keuangan pribadi dan keuangan umum. Menurut Onghokham pemisahan antara keuangan tersebut tidak ada dalam konsep kekuadaan tradisional. Dengan kata lain korupsi mulai dikenal saat system politik modern dikenal.

Pengertian Korupsi dalam arti modern baru terjadi bila ada konsepsi dan pengaturan pemisahan keuangan pribadi dan sebagaian pejabat sangat penting, sebab seorang raja trtadisional tidak dianggap sebagai koruptor jika menggunakan uang negara, karana ia adalah raja negara itu sendiri.


Namun secara tidak sadar sebenarnya konsepsi tentang anti korupsi sudah ada sejak lama, bahkan sebelum pemisahan kekuasaan politik secara modern dikenal. Justru tidak adanya pemisah antara keuangan dari raja/pejabat negara dengan negara itulah yang memunculkan kosepsi anti korupsi.


Dengan demikian Korupsi dapat didefinisikan sebagai suatu tindak penyalahgunaan kekayaan negara (dalam konsepsi modern), yang melayani kepentingan umum, unruk kepentingan pribadi atau perorangan. Akan tetapi praktek korupsi sendiri, seperti suap atau sogok kerap ditemui di tengah masyarakat tanpa harus melibatkan hubungan Negara.

Istilah Korupsi dapat mengacu pada pemakaian dana pemerintah untuk tujuan pribadi. Definisi ini tidak hanya menyangkut Korupsi monetermkonvensional, akan tetapi menyangkut pula Korupsi politik dan administrative. Seorang administrator yang memanfaatkan kedudukannua untuk menguras pembayaran tidak resmi dari investor (domestic maupun asing), memakai sumber pemerintah, kedudukan, martabat, status, atau kewenangan yang resmi, untuk keuntungan pribadi dapat pula dikategorikan melakukan tindak Korupsi.

Definisi ini hampir sama artinya dengan definisi yang dilontarkan oleh pemerintah Indonesia. Dalam siaran pers yang dikeluarkan oleh Menko Wasbang tentang menghapus KKN dari perekonomian nasional, tanggal 15 Juni 1999, pengertian KKN didefinisikan sebagai praktek kolusi dan nepotisme antara pejabat dengan swasta yang mengandung unsur korupsi atau perlakuan istimewa. Sementara itu batasan operasional KKN didefinisikan sebagai pemberian fasilitas atau perlakuan istimewa oleh pejabat pemerintah/BUMN/BUMD kepada suatu unit ekonomi/badan hukum yang dimiliki pejabat terkait, kerabat atau konconya.

Menurut Onghokham ada dua dimensi dimana korupsi bekerja. Dimensi yang pertama terjadi di tingkat atas, dimana melibatkan penguasa atau pejabat tinggi pemerintahan dan mencakup nilai uang yang cukup besar. Para diktator di Amerika Latin dan Asia Tenggara misalnya berhasil mengumpulkan uang jutaan dollar dari sumber alam dan bantuan luar negeri.

Sementara itu dalam dimensi yang lain, yang umumnya terjadi di kalangan menengah dan bawah, biasanya bersentuhan langsung dengan kepentingan rakyat atau orang banyak. Korupsi yang terjadi di kalangan menengah dan bawah acap menghambat kepentingan kalangan menengah dan bawah itu sendiri, sebagai contoh adalah berbelitnya proses perizinan, pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP), Surat Izin Mengemudi (SIM), proses perizinan di imigrasi, atau bahkan pungutan liar yang dilakukan oleh para polisi di jalan-jalan yang dilalui oleh kendaraan bisnis, dan lain sebagainya.

Menurut Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Prof. Dr. A. Hamzah, sitap orang sekarang berbicara mengenai Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dalam datu napas dan sudah “salah Kaprah”. Bahkan mungkin mereka kurang mengerti apa sesungguhnya yang dimaksud dengan Korupsi, Kolusi dan Nopetisme.

Tindakan yang sudah umum ini dimengerti dengan istilah Korupsi, yang berarti perbuatan busuk, buruk, bejat, tidak bermoral, dan dapat disuap, yang secara yuridis sudah ada Undang-Undangnya, yaitu Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi (UU No 3 Tahun 1971).

Ada 17 rumusan delik (tindak pidana korupsi) yaitu empat rumusan disusun oleh pembuat undang-undang sendiri dan 13 rumusan berasal dari KUHP yang umumnya menyangkut delik jabatan dan suap-menyuap. Perbuatan yang tidak masuk dalam 17 rumusan itu mungkin merupakan delik (tindak pidana) tetapi bukan tindak pidana Korupsi.

1 comments:

Unknown said...

sama - sama. salam kenal. saya mahasiswa d3 fisioterapi ui baru lulus tahun ini :)